PENDIDIKAN MORAL
Moral adalah serangkaian nilai yang dapat diterima dalam konteks kebudayaan yang berlaku.
Nilai-nilai
individual dan standar moral itulah yang akan mendorong komitmen
seseorang untuk melakukan tindakan, sehingga terjadinya perubahan
perilaku. Pendidikan akan dapat membantu siswa untuk memiliki moral yang baik, sehingga mereka bertindak dengan cara-cara yang lebih diterima dan lebih produktif baik secara personal maupun sosial.
Perubahan yang terjadi pada perilaku individu ini karena diperkenalkannya informasi baru yang menyebabkan perubahan dalam dasar-dasar kepercayaan, nilai dan sikapnya. Kepercayaan adalah sekumpulan fakta atau opini mengenai kebenaran, keindaan, dan kebaikan. Sedangkan sikap adalah serangkaian kepercayaan yang menentukan pilihan terhadap objek atau situasi tertentu.
Perubahan yang terjadi pada perilaku individu ini karena diperkenalkannya informasi baru yang menyebabkan perubahan dalam dasar-dasar kepercayaan, nilai dan sikapnya. Kepercayaan adalah sekumpulan fakta atau opini mengenai kebenaran, keindaan, dan kebaikan. Sedangkan sikap adalah serangkaian kepercayaan yang menentukan pilihan terhadap objek atau situasi tertentu.
Definisi Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores masih
dipakai dalam arti yang sama. Moral dapat dimaknai sebagai nilai-nilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, perbuatan seseorang tidak
bermoral. Hal itu dimaksudkan bahwa perbuatan orang tersebut melanggar
nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Kohlberg dalam Djahiri moral diartikan sebagai segala hal yang mengikat,membatasi, dan menentukan serta harus dianut, diyakini, dilaksanakan atau diharapkan dalam kehidupan dinamika kita berada.[1]Moral
ada dalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini akan menjadi
moralitas sendiri. Djahiri mengatakan lebih lanjut, bahwa moral itu
mengikat seseorang karena: (1) dianut orang atau kelompok atau
masyarakat di mana kita berada, (2) diyakini orang atau kelompok atau
masyarakat di mana kita berada, (3) dilaksanakan orang atau kelompok
atau masyarakat di mana kita berada, dan (4) merupakan nilai yang
diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan kelompok atau masyarakat
di dalam kehidupan kita[2].
Selanjutnya,
Kama Abdul Hakam mengatakan bahwa berbicara soal moral berarti
berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka
mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut
dan tidak patut dilakukan[3].
Dari
beberapa pendapat di atas, dipahami bahwa moral adalah keseluruhan
aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah dan larangan yang
mengatur perilaku manusia dan masyarakat di mana manusia itu berada.
Dalam perkembangannya kemudian, kata mos, mores dan
moral ini menjadi “moralis-moralitas”. Moralitas dipergunakan untuk
menyebut sebuah perbuatan yang memiliki makna lebih abstrak. Apabila
ditanyakan, apakah moralitas tersebut? Moralitas adalah segi moral baik
maupun buruknya suatu perbuatan. Moralitas menunjuk pada suatu konsep
yang keseluruhannya memaknai suatu perbuatan itu berkenaan dengan
hakekat nilai, terkait dengan kualitas perbuatan manusiawi. Dengan
demikian pada dasarnya perbuatan moralitas manusia hanyalah dirasakan
relevan apabila dikaitkan dengan eksistensi manusia seutuhnya.[4]
Kata
moralitas, yang berasal dari kata sifat Latin moralis. Ini mempunyai
arti yang mirip sama dengan moral, hanya lebih abstrak. Kita berbicara
tentang moralitas suatu perbuatan, artinya memandang baik buruknya
perbuatan dari segi moral. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan
asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurut
Sumantri, istilah moral dan moralitas itu tidak sekedar menunjukkan
tingkah laku atau sikap semata, akan tetapi lebih kepada kompleks
komponen yang menyangkut keduanya.[5] Dari
asumsi ini, pernyataan moral dan moralitas tidak saja meliputi komponen
sikap, akan tetapi sekaligus tingkah lakunya. Ini berarti bahwa moral
sangat erat kaitannya dengan performasi
dari tingkah laku tertentu. Lebih dari itu, ruang lingkup moral juga
meliputi tipe-tipe motivasi, disposisi, dan intensi tertentu yang
merupakan pra kondisi
mutlak bagi tingkah laku moral. Konsep Sumantri mengenai moral dan
moralitas tidak semata menyangkut tingkah laku dan sikap semata yang
dapat diartikan secara terpisah, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan
yang dapat terewujud melalui performasi dan komponen kompleksitas
antara tingkah laku dan sikap dalam bentuk motivasi, disposisi, dan
intensi tertentu.
Norma-norma Moral
Norma-norma
moral adalah tolok ukur yang dipakai sebagai dasar oleh masyarakat
untuk mengukur sejauh mana kebaikan seseorang itu dalam rangka interaksi
sosialnya. Dengan norma-norma moral itulah kita sebagai manusia akan
betul-betul dinilai. Dengan kerangka berpikir demikian, maka tidaklah
berlebihan apabila dinyatakan bahwa penilaian moral selalu mempunyai
bobot lebih bila dibandingkan dengan berbagai model penilaian lainnya.
Manusia dilihat sebagau sesuatu wujud yang utuh, bukan sebatas, misalnya
dia sebagai wajib pajak telah menyetorkan nominal pajak sebagai wajib
pajak yang tinggi sekaligus karena harta kekayaan melimpah. Sama sekali
bukan, sebab mungkin saja perilakunya tidak terpuji karena ia menetapkan
keuntungan tinggi dengan jual pada produk barang dan jasa. Orang
seperti ini pantas dan layak disebut munafik.
Sebuah tindakan yang baik dari segi moral ialah tindakan bebas manusia yang mengafirmasi
nilai moral objektif dan mengafirmasi hukum moral, buruk secara moral
ialah sesuatu yang bertentangan dengan nilai moral dan hukum moral.
Sumber dari kepatutan dan ketidakpatutan moral terletak pada keputusn
bebas kehendak, sikap bijak yang timbul dari keputusan bebas tersebut
dan pribadi atau subjek moral.
Walaupun moralitas dihubungkan dengan sikap dan perilaku individu, namun individu-individu hanya bisa bersikap dalam konteks masyarakat
yang memiliki budaya, struktur sosial, politik dan ekonomi tertentu.
Moralitas juga akan berkaitan dengan struktur tersebut. itu berarti
moralitas individu mendapat ruang gerak dalam wilayah moralitas
masyarakat (publik), yang terwujud dan didukung oleh wilayah publik
juga. Moralitas publik yang dilatarbelakangi oleh moralitas individu
akan menghasilkan suatu kepatuhan untuk kepentingan bersama jika
kebijakan moralitas mengutamakan kepentingan publik dan bukan
semata-mata kepentingan pribadi tertentu maupun golongan. Dalam
konsekuensinya kehidupan serba multi, baik etnis, pola pemikiran, sosial
budaya dan latar belakang yang berbeda tidak jarang kita kesulitan
untuk mencapai kesatuan pendapat moral.
Manusia
memang makhluk yang dihadapkan pada suatu dilema moral. Makin kompleks
kehidupan yang dimilikinya, maka makin besar kemungkinannya menghadapi
dilema yang demikian. Magnis Suseno, menyebutkan ada tiga alasan mengapa
hal itu terjadi, adalah sebagai berikut: (1) masalah moral yang dihadapi oleh berbagai bidang yang seringkali sangat kompleks, (2) kita sering menghadapi masalah tersebut secara tidak rasional dan objektif, tetapi secara emosional dan hanya dari segi kepentingan pribadi, (3) kita sering tidak bersedia untuk bertindak dengan baik, adil, dan jujur.[6]
Dari
tiga alasan tersebut di atas, tampak bahwa hanya orang yang memiliki
kepribadian kuat dan matang serta mapan yang dapat mengambil suatu
keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan demikian itu baru
akan lahir apabila ada kebebasan. Kesatuan pendapat moral hanya mungkin
dicapai apabila kita memutuskannya berdasarkan suara hati nurani. Memang
suara hati nurani ada peluang untuk salah dalam pengambilan keputusan.
Kesalahan atau kekeliruan itu terjadi karena tidak ada dukungan oleh
pandangan-pandangan moral yang baik dan benar. Oleh karena itu, suatu
hati perlu untuk dididik dan ditumbuhkembangkan dengan cara terbuka dan
mau belajar untuk memahami seluk beluk permasalahan yang sedang
dihadapi.
Berkaitan dengan pengenalan suara hati sebagai dasar dari moral, maka perlu dicermati beberapa hal sebagai berikut:
1. Unsur
rasional suara hati; suara hati adalah kesadaran akan kewajiban manusia
dalam situasi konkrit atau faktual. Hati nurani adalah penilai yang
tidak pernah bohong dalam mengungkap situasi meskipun tidak pernah dapat
dibuktikan secara konkrit. Seharusnya suara hati muncul apa adanya di
dalam sebuah penilaian, tetapi ketika melewati pemikiran dan ucapan yang
terkuat dalam perilaku, ditambah pengaruh lingkungan dan modifikasi
lainnya, muncul bisikan-bisikan lain. Dengan demikian tidak jarang
kebenaran sebagai suara hati termodifikasi menjadi jahat.
2. Tanggung
jawab Penilaian; ketika berbicara persoalan moral, yang dikedepankan
adalah unsur baik buruk dan benar salah. Tidak ada pertimbangan setengah
baik dan setengah buruk. Tidak pula persoalan perasaan semata, jadi,
berbicara moral semua unsur subjektif harus dilepaskan dan jangan
dijadikan salah satu alasan pembenarnya. Moral menuntut adanya unsur
objektif.
3. Sifatnya
Universal; ciri khas kesadaran hukum moral adalah adanya sifat dasar
yang universal. Baik buruk serta benar salah penilaian moral dalam
berbagai masyarakat suku bangsa merupakan unsur yang bersifat dan
bernilai universe. Jadi kebenaran dan kebaikan diakui tidak hanya pada
suatu kelompok manusia, tetapi pada berbagai suku bangsa.
Etika dan Moral
Makna etika secara etimologis berasal dari kata ‘ethos’, yang berarti watak, kesusilaan, atau adat. Sebagaimana yang dikemukakan olehBertens perkataan etika berasal dari bahasa Yunani, ‘ethos’ yang berarti adat kebiasaan[7]. Secara terminologis dari perspektif filosofis dan teoritis, Endang Sumantri mengatakan bahwa:
Etika
adalah suatu ilmu yang mengadakan ukuran yang dapat dipakai untuk
menanggapi atau menilai perbuatan manusia yang berhubungan dengan
perbuatan kesusilaan yang – normatif --, secara filosofis, etika adalah
analisis tentang apa yang orang maksudkan bilamana mempergunakan
predikat kesusilaan. Secara praktis, etika (Frans Magnis Suseno) adalah
suatu keputusan yang tepat manusiawi dan layak diambil dari suatu dilema
yang dihadapi seseorang setelah berjuang mengatasi kesulitan. Jadi
secara ringkas etika adalah hal yanag menunjukkan sifat manusia, sebagai
ilmu akhlak, sebagai pengkajian sistem nilai yang ada pada diri
manusia/masyarakat[8].
Pendapat-pendapat lain dari beberapa ahli tentang etika, menyebutkan bahwa:
1. Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip yang disistematisasi tentang tindakan moral yang betul.
2. Etika ialah bagian filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan, hujjah-hujjah, dan tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan.
3. Etika
adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi
tentang idenya, bukan yang positif tetapi ilmu yang normatif.
4. Etika ialah ilmu tentang moral, dan prinsip-prinsip/kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan kelakukan[9].
Sedangkan
menurut Ki Hajar Dewantara dalam Achmad Charris Zubair mengatakan,
bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan
keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai
gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan
perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.[10] Jadi
bisa dikatakan bahwa etika ibarat suatu pelampung yang dapat membantu
nakhoda kapal dalam pelayarannya sehingga tahu kemana harus berlayar.
Menurut
Magnis Suseno dalam Zubair bahwa objek etika adalah pernyataan moral,
yaitu pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia
sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia, seperti
motif-motif, maksud dan watak[11].
Bila
dihubungkan dengan moral, maka etika menempati ruang yang lebih sempit
atau menempati suatu komponen dari berbagai macam komponen atau sistem
kehidupan yang banyak. Karena moral merupakan gagasan yang disepakati
umum dan diterima oleh manusia, mana yang baik dan wajar, dan mana yang
tidak. Perbedaannya etika bersifat teoritis sedangkan moral bersifat
praktis, maksudnya moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang ada. Dengan kata lain, susila, kesusilaan, tata susila,
budi pekerti, kesopanan, sopan santun, tata krama, adab, perangai,
tingkah laku, perilaku, dan kelakuan.
Akhlak dan Moral
Secara
etimologi kata akhlak dimaknai sebagai perangai, budi pekerti, tingkah
laku atau tabiat seseorang. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab dari
kata al-akhlaaqu, dalam bentuk jamak kata akhlak berasal dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat[12]. Menurut Sofyan Sauri kata al-khalqu bisa
pula berati kejadian, ciptaan, atau kejadian yang indah dan baik.
Apabila dirujuk kepada kejadian manusia, ia berarti struktur tubuh yang
badannya indah dan seimbang[13].
Jika dirujuk kepada kejadian alam semesta, ia juga membawa arti
kejadian atau ciptaan yang indah, tersusun rapi, menurut undang-undang
yang tepat.
Secara
istilah, kata akhlak menurut Ramayulis (2001: 87) merupakan fondasi
(dasar) yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang seutuhnya.
Pendidikan yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang berakhlak,
merupakan hal pertama yang harus dilakukan, sebab akan melandasi
kestabilan kepribadian manusia secara keseluruhan, sebagaimana sabda
Rasulullah Saw, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang disebut kaya itu bukan karena banyaknya harta semata-mata, tetapi yang kaya adalah karena hatinya.
Sedangkan
menurut Ibn Miskawaih dalam Sofyan Sauri secara istilah akhlak ialah
sifat yang tertanam di dalam diri yang dapat mengeluarkan sesuatu
perbuatan dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian, dan
paksaan.[14] Pengertian
di atas sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali
yang menyatakan bahwa akhlak ialah suatu keadaan yang tertanam di dalam
jiwa yang menampilkan perbuatan-perbuatan dengan senang tanpa memerlukan
pemikiran dan penelitian[15].
Apabila perbuatan yang keluar itu baik dan terpuji menurut syara’ dan
akal, maka perbuatan itu dinamakan akhlak yang mulia. Sebaliknya apabila
keluar perbuatan yang buruk, ia dinamakan akhlak yang buruk.
Jadi,
akhlak itu sebenarnya adalah bentuk batin seseorang, ada yang baik dan
ada yang jahat, ada yang terpuji dan ada pula yang tercela. Bila tingkah
laku yang ditimbulkan oleh akhlak itu sesuai dengan ajaran agama, maka
itu dianggap baik; tetapi bila tidak sesuai atau bertentangan dengan
ajaran agama, maka itu dianggap jahat atau tercela.
Aspek
akhlak bagi anak usia dini meliputi pembiasaan bertingkah laku yang
baik, baik di sekolah maupun di luar sekolah, seperti berbicara sopan
santun, berpakaian rapi dan bersih. Menurut Burhanuddin aspek
pendidikan akhlak berupa contoh-contoh, latihan-latihan, dan
pembiasaan-pembiasaan yang mempunyai peranan sangat penting dalam
pembinaan pribadi anak[16].
Secara
umum tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk manusia yang bermoral
baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
tingkah laku, perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab,
ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain, pendidikan akhlak bertujuan
untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (fadhilah).
Pendidikan akhlak dalam Islam telah dimulai sejak anak dilahirkan,
bahkan sejak dalam kandungan. Pendidikan akhlak ini terjadi melalui
semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran, dan
pengalaman atau perlakuan yang diterima. Pembentukan akhlak dilakukan
setahap demi setahap sesuai dengan irama pertumbuhan dan perkembangan,
dengan mengikuti proses yang alami.
Model Pendidikan Moral
Moral
pun merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang
beradab. Demikian pula, bisa dipakai sebagai ajaran tentang baik dan
buruk perbuatan serta kelakuan (akhlak). Moralisasi berarti uraian
(pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik, sedangkan
demoralisasi berarti kerusakan moral. Jadi moral adalah aturan
kesusilaan yang meliputi semua norma kelakuan dan perbuatan untuk
bertingkah laku yang baik. Adapun kata susila berasal dari bahasa Sansekerta, su artinya lebih baik, sila berarti
dasar-dasar, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup. Jadi,
susila berarti peraturan-peraturan untuk mengatur hidup agar lebih baik.
Dalam
pandangan para ahli istilah moral mendapat sorotan yang cukup menarik
dan panjang. Piaget misalnya, merumuskan moral sebagai:
...view
about good and bad, right or wrong, what ought to not to do.... A set
of belief current in society abaout character or conduct and what people
should try to be or try to do.... A ort of belief about people and
their actions.... A system of conduct assesment which is objectives in
that and it reflect the condition of social existence.... Rule of
conduct actually accepted in society....[17]
Demikian halnya Here yang menyatakan bahwa moral pada dasarnya bersifat prescriptive, directive, imperative and commanding (derived from some rule or principle of action) serta obligue[18]. Begitu juga HigginsdalamHoward mengemukakan tentang ciri-ciri orang yang bermoral ialah selalu merasakan adalah moral based (tuntutan dan keharusan moral) untuk selalu bertanggung jawab terhadap adanya 1) needs and welfare of the individual and other; 2) the involement and implication of the self and consequences of authers, dan 3) instrinsic value or sosial relationships[19].
Berdasarkan hal tersebut, nilai moral baru mencapai tahap kognitif apabila berhasil dipahami dan tersimpan dalam sistem nilai (value system).
Menurut Kohlberg nilai moral tersebut baru mempribadi dan bersatu raga
menjadi sistem organik dan personal apabila sudah mencapai tahap sebagai
keyakinan diri atau prinsip serta tersusun sebagai sistem keyakinan (belief system)
yang benar-benar diyakini serta akan menjadi kiblet pola berpikir
meupun perilakunya dan bahkan dirinya bukan mustahil akan terus dibina,
diyakini dan menjadi jati dirinya sendiri yang dipertahankan sepanjang
hayatnya sebelum ada keyakinan lain yang mampu menggoyahkan atau
menggantikannya[20].
Dan apabila ini terjadi, maka sebagaimana diungkapkan Fraenkel akan
menjadi sistem keyakinan dan menjadi tenaga yang maha dahsyat melebihi
kekuatan bom nuklir[21].
Untuk mencapai tahap tersebut memerlukan rekayasa dan upaya pendidikan yang khusus, yakni melalui proses pembiasaan (habituasi) nilai moral tersebut. Dengan demikian segala nilai moral dan norma normatif yang semula hanya bersifat is to... (keharusan) berubah menjadi ought to...(kelayakan) dan mantap mempribadi menjadi belief/keyakinan (Kohlberg).
Setiap
orang mempunyai suatu atau seperangkat nilai objektif-ideal yang
kemudian disesuaikan dengan keadaan nyata atau waktu atau kepentingan
atau kemampuan dirinya. Tetapi tidak selalu orang yang menganut atau
meyakini atau melaksanakan suatu/sejumlah nilai subjektif/khusus
memahami dan meyakini nilai objektif-idealnya atau nilai instrinsik yang
termuat di dalamnya. Dalam kehidupan nilai moral agama, budaya dan
hukum masalah ini sangat banyak terjadi. Sebagai contoh, banyak orang
sembahyang setiap waktu, membaca bacaan wajibnya namun tidak pernah tahu
makna-isinya. Demikian pula banyak orang yang memasang bendera pada
hari nasional tertentu, dan tidak pernah tahu makna dan pesannya.
Pendidikan nilai moral yang baik tidak berharap seperti itu, namun
melalui pendidikan nilai moral orang akan berbuat sesuatu secara nalar
dan penuh keyakinan.
Dalam
upaya pendidikan atau membina nilai moral hendaknya menggunakan asas
atau pendekatan manusiawi atau humanistik serta meliputi keseluruhan
aspek/potensi anak didik secara utuh dan bulat (aspek fisik-non fisik,
emosi-intelektual, kognitif-apektif, dan psikomotorik). Menurut Abdul
Aziz pendidikan yang memanusiakan manusia, yaitu pendidikan yang
menyentuh unsur dalam manusia, yaitu ruhani[22].
Ruhani seseorang juga memerlukan nutrisi dan gizi. Kalau kebutuhan
ruhani ini terpenuhi dalam diri seseorang dengan sangat baik, maka orang
itu bisa disebut sebagai orang beriman dan bertakwa. Dan orang-orang
yang kebutuhan otak serta ruhaninya terpenuhi secara melimpah ruah, maka
mereka bisa disebut sebagai orang-orang yang mempunyai kecerdasan
paripurna, yaitu kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Adapun
pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai
sebagai insan manusia yang potensial (mempunyai kemampuan, kelebihan dan
kekurangannya) diperlakukan dengan penuh kasih sayang, hangat,
kekeluargaan, terbuka, objektif, dan penuh kejujuran serta dalam suasana
kebebasan tanpa ada tekanan atau paksaan apapun juga.
Melalui
penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini benar-benar akan
merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan
potensi diri serta dunia kehidupan dari segala aspeknya. Menurut Tilaar
ada tiga hal yang perlu dikaji kembali dalam pendidikan[23].Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka
pendidikan akan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat
terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu,
rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan
antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan
menempatkan pendidikan informal yang justeru akan semakin memegang
peranan penting di dalam pembentukan tingkah laku manusia dalam
kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan
bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik.
Pengembangan seluruh spektrum intelegensi manusia, baik jasmani maupun
rohaninya perlu diberikan kesempatan di dalam program kurikulum yang
luas dan fleksibel, baik di dalam pendidikan formal, non formal, dan
informal. Ketiga, pendidikan
ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi lebih penting ialah
manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sindhunata bahwa tujuan pendidikan bukan
hanya menjadikan manusia yang terpelajar, tetapi menjadi manusia yang
berbudaya (educated and civized human being)[24].
Dengan
demikian, proses pendidikan hendaknya dijadikan sebagai proses
humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral, agama, yang berlangsung
baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa,
baik pada masa kini dan masa yang akan datang. Untuk itu, hendaknya pula
pendidikan bersendikan agama, kebutuhan dunia, dan tradisi bangsa.
Sehingga, pendidikan sebagai proses humanisasi, pendidikan
berkepentingan untuk memposisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki
keserasian dengan habitat ekologinya. Manusia diarahkan untuk mampu
memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis seperti makan, minum, pekerjaan,
sandang, tempat tinggal, berkeluarga, dan kebutuhan biologis lainnya
dengan cara-cara yang baik dan benar. Dalam proses humanisasi seperti
itu, maka pendidikan dituntut untuk mampu mengarahkan manusia pada
cara-cara pemilihan dan pemilahan nilai sesuai dengan kodrat biologis
manusia.
Demikian
pula, pendidikan sebagai proses humanisasi mengarahkan manusia untuk
hidup sesuai dengan kaidah moral, karena manusia hakikatnya adalah
makhluk yang bermoral. Moral manusia berkaitan dengan tuhan, sesama
manusia, dan lingkungan. Dalam hal ini pendidikan seyogyanya tidak
mereduksi proses pembelajaran hanya semata-mata untuk kepentingan salah
satu segi kemampuan saja, melainkan harus mampu menyeimbangkan kebutuhan
moral danintelektual.
Dengan
demikian, nilai dan pendidikan merupakan dua hal yang satu sama lainnya
tidak dapat dipisahkan. Bahkan ketika pendidikan cenderung diperlakukan
sebagai wahana transfer ilmu pengetahuan seperti yang diyakini oleh
sebagian besar penganut aliran kognitivisme, di sana telah terjadi
perambatan nilai yang setidaknya bermuara pada nilai-nilai kebenaran
intelektual. Demikian pula, ketika peristiwa pendidikan sangat syarat
dengan pembelajaran keterampilan baik formal maupun non-formal, di
dalamnya terdapat proses pembelajaran nilai yang mengandung bobot
benar-salah, baik-buruk, atau indah-tidak indah.
Dalam
kaitan tersebut, Sumantri (2006: 7) mengemukakan bahwa “cita rasa dan
karsa yang tumbuh dalam masyarakat akan mewarnai dinamika kehidupan yang
mempunyai makna kondusif bila perilaku yang lahir dari suasana
lingkungan masyarakat tersebut dilandasi nilai-nilai keteladanan”[25].
Yang dimaksud dengan suasana lingkungan di sini adalah orang (manusia)
sebagai makhluk individu dan sebagai anggota masyarakat, segala benda,
budaya, adat istiadat, perangai, dan bahasa masyarakat, sekolah, manusia
muda-tua, rumah tangga, keluarga, lingkungan, pemerintah, dan segala
bentuk kebutuhan hidup manusia yang melekat dengan makna kehidupan
tersebut. Tentang manusianya yang paling penting dihiasi oleh pancaran
cahaya lahir batin, intelekm spirit, dan emosi yang tumbuh dalam
pergaulan yang harmonis, dinamis, dan produktif.
Selanjutnya,
menurut Sumantri, hal-hal yang dapat mengangkat suasana lahir batin
tersebut dapat bersumber dari 14 butir nilai budi pekerti bagi perekat
dan penguat suasana batin seluruh aspek lingkungan dan keteladanan
masyarakat. Adapun ke-14 butir aspek tersebut ialah:
1) Ketaqwaan;
perilaku yang terwujud dari iman, 2) keimanan; berbudi pekerti luhur,
3) kejujuran; tidak bohong dan berkorban demi kebenaran, 4) keteladanan;
memberi contoh dengan perbuatannya, 5) suasana demokratis; sikap saling
menghargai orang lain, 6) kepedulian; sikap empati dan saling
menasehati, 7) keterbukaan; sikap transparansi untuk tidak buruk sangka,
8) kebersamaan; persaudaraan dengan tata hubungan yang harmonis, 9)
keamanan; kenyamanan yang lepas dari gangguan, 10) ketertiban; kondisi
yang mencerminkan ketertiban dan keharmonisan, 11) kebersihan; suasana
sehat dan rapi, 12) keindahan; suasana sehat dan rapi, 13) keindahan;
suasana yang terkesan rapi dan bersih, dan 14) sopan santun; suasana
dalam cara tindak dan tutur kata yang baik.
Jadi,
jelaslah bahwa moral sangat penting bagi manusia. Banyak perbuatan
manusia berkaitan dengan baik dan buruk, hal tersebut bukan hanya
terjadi saat ini saja, tetapi sudah sejak masa lampau. Sejarah telah
membuktikan bahwa dalam segala zaman ditemukan keinsyafan manusia
tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan, tetapi tidak semua bangsa dan tidak semua zaman
mempunyai pengertian baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum pada
kehidupan manusia. Dengan kata lain, moralitas merupakan fenomena
kemanusiaan yang universal.
Banyak
orang berpendapat (termasuk para filosof) bahwa perbedaan khas antara
manusia dengan binatang adalah karena manusia memiliki rasio, atau bakat
untuk menggunakan bahasa atau lebih luas menggunakan simbol. Akan
tetapi, ada lagi perbedaan manusia dengan binatang adalah bahwa manusia
memiliki kesadaran moral. Oleh karena itu Magnis-Suseno mengatakan
bahwa:
“Kata
moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia....
Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia. Norma moral adalah tolok ukur untuk
menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi
baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu
dan terbatas.”[26]
Bahkan
Bartens mengatakan bahwa moralitas merupakan ciri khas manusia yang
tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi.[27] Pada
binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh
dan yang dilarang, tentang yang harus dilakukan dan tidak pantas
dilakukan.
Keberadaan
moralitas pada manusia bisa ditelusuri sejak dalam kandungan, bayi
telah bereaksi terhadap kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya,
khususnya yang telah berusia 7 bulan dalam kandungan bila diperdengarkan
bunyi terjadilah gerakan seperti pindah dari sebelah kiri ke kanan,
bahkan setelah bayi lahir yang normal akan menangis. Ketika mulai usia
17 sampai 20 bulan bayi telah mampu memberikan perhatian terhadap
gerakan objek dan perilaku seseorang. Ketika telah bisa berjalan mulai
bisa mengeksplor lingkungan sekitar, seperti merambat di sekitar dinding
kamar, dan bahkan mampu memperlihatkan reaksi kegelisahan dengan
ungkapan “uh, ah”. Dan bagi anak yang berusia 2 tahun, bahasa
dipergunakan sebagai referensi standar atau perbuatan, seperti kotor,
basah, dan selanjutnya muncul kemampuan mengevaluasi seseorang atau
kegiatan orang lain, seperti “baik”, “buruk”, “jahat”, dan sebagainya.
Sementara
anak yang lebih besar mulai menghubungkan persoalan moralitas dengan
persoalan-persoalan praktis yang menyangkut dirinya, bahkan mulai muncul
keinginan unutk berhubungan dengan orang lain yang benar-benar esensial
untuk melanjutkan kelompok manusia. Kesadaran dan kemampuan baru
seperti ini, menunjukkan adanya kapasitas untuk menjadi manusia yang
bermoral. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Poespoprojo (1999: 13),
dalam kehidupan manusia, moral itu adalah sesuatu yang benar-benar ada
dan tidak dapat dipungkiri.
Selanjutnya,
Kohlber mengatakan bahwa orientasi moral seseorang yang dijadikan dasar
pertimbangan nuraninya berbeda-beda bagi setiap orang. Ada empat
orientasi moral yang dikemukakan Kohlberg, yaitu[28]:
1. Orientasi normatif, yaitu mempertahankan hak dan kewajiban dan taat pada aturan yang berlaku.
2. Orientasi kejujuran, yaitu menekankan pada keadilan dengan fokus pada kebebasan, kesamaan, pertukaran hak, dan kesepakatan.
3. Orientasi utilitarisme, yaitu menekankan konsekwensi kesejahteraan dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada orang lain.
4. Orientasi
perpeksionis, yaitu menekankan pencapaian a) martabat dan otonomi, b)
kesadaran dan motif yang baik, c) keharmonisan dengan orang lain.
Orientasi moral ini dipandang penting karena
akan menentukan arah keputusan dan tindakan seseorang. Sehingga Magnis
mengatakan bahwa salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental
adalah orientasi; tujuannya agar kita tidak ikut-ikutan terhadap pihak
yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita
dapat mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap dan berbuat[29].
Oleh karena itu, orientasi moral akan sangat berpengaruh terhadap
moralitas dan pertimbangan moral seseorang, karena pertimbangan moral
merupakan hasil proses penalaran yang dalam proses penalaran tersebut
ada upaya memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan orientasi
moral serta pertimbangan konsekuensinya.
Agar
dapat menyadarkan peran moral dan orientasi moral ini pada setiap orang
diperlukan adanya pendidikan nilai, baik secara formal, informal, dan
non formal. Secara formal diberikan pada lembaga-lembaga pendidikan
formal di sekolah, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (PT). Secara
non formal dilakukan pada institusi keluarga, di mana keluarga secara
terus menerus mewariskan nilai-nilai yang diyakini kepada anggota
keluarganya. Secara in-formal pendidikan nilai diberikan pada
tempat-tempat pendidikan seperti majelis taklim, tempat pengajian,
pesantren, dan tempat-tempat lain yang memberikan perhatian pada
pendidikan nilai ini. Namun upaya sungguh-sungguh untuk mempertegas
kehadiran pendidikan nilai dalam setiap pendidikan formal baru terlihat
secara jelas pada abad ke-20, dimana pendidikan nilai telah dipelajari
sebagai suatu “disiplin”[30]. Sejak itulah banyak literatur dan penelitian yang mengkaji secara serius bidang pendidikan nilai ini.
Dalam
sejumlah literatur, istilah pendidikan nilai dan pendidikan moral
sering digunakan untuk kepentingan yang sama, hal ini didasarkan karena
eratnya hubungan kedua bidang tersebut. Akan tetapi, menurut Winecoff,
bahwa pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek
dari sudut pandang moral dan non-moral, yang meliputi estetika yang
menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta
etika yang menilai benar atau salah dalam hubungan antar pribadi[31].
Sedangkan pendidikan moral merupakan pendidikan yang mempertanyakan
benar dan salah dalam hubungan antar pribadi, yang melibatkan
konsep-konsep seperti hak manusia, kehormatan manusia, kegunaan manusia,
keadilan, pertimbangan, kesamaan, dan hubungan timbal balik. Dengan
demikian pendidikan nilai lebih luas dari pada pendidikan moral, dan
pendidikan moral merupakan bagian dari pendidikan nilai yang membahas
kawasan etika.
Pendidikan
nilai dalam pemikiran konstruktivisme digunakan sebagai proses membantu
siswa dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian
kritis sehingga siswa dimungkinkan untuk meningkatkan atau memperbaiki
kualitas berpikir dan perasaannya. Oleh karena itu Winescoff menyatakan
bahwa proses pendidikan nilai sedikitnya akan melibatkan proses sebagai
berikut:[32]
1. Identifikasi (bisa juga sebagai akulturasi) inti nilai personal dan nilai sosial.
2. Inquiry rasional dan filosofis terhadap inti nilai tersebut.
3. Respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai tersebut;
4. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan inti nilai berdasarkan penyelidikan dan respon-respon tersebut.
Penutup
Etika,
akhlak, dan moral merupakan sesuatu yang sangat urgent dalam dunia
pendidikan. Sehingga pendidikan atau sekolah perlu memperhatikan aspek
moral tersebut. Dengan adanya pendidikan moral akan dapat membantu siswa agar berubah sikap dan perilakunya yang mengarah kepada sikap dan perilaku yang baik.Dengan pendidikan moral ini,merekaakan bertindak
dengan cara-cara yang lebih diterima dan lebih produktif baik secara
personal maupun sosial. Perubahan yang terjadi pada perilaku individu
ini karena diperkenalkannya pada informasi baru yang menyebabkan
perubahan dalam dasar-dasar kepercayaan, nilai dan sikapnya. Kepercayaan
adalah sekumpulan fakta atau opini mengenai kebenaran, keindaan, dan
kebaikan. Sedangkan sikap adalah serangkaian kepercayaan yang menentukan
pilihan terhadap objek atau situasi tertentu.
Nilai
adalah serangkaian sikap yang menyebabkan atau membangkitkan suatu
pertimbangan yang harus dibuat sehingga menghasilkan suatu standar atau
serangkaian prinsip yang bisa dijadikan alat ukur suatu aksi. Sedangkan moral adalah serangkaian nilai (standar atau prinsip) yang dapat diterima dalam konteks kebudayaan yang berlaku.Nilai-nilai
individual dan standar moral itulah yang akan mendorong komitmen
seseorang untuk melakukan tindakan, sehingga terjadinya perubahan
perilaku.
2 komentar:
terimakasih.
salam sehat selalu,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
terimakasih postingannya!
pinjam aman
Posting Komentar